Tugas
Perbandingan Agama
OLEH
ANAK AGUNG GEDE NGURAH PRATAMA
NIM. 12.1.1.1.1.187
FAKULTAS DHARMA
ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2015
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,
Rasa angayu bagia dan terima kasih penulis panjatkan kehadapan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), karena atas asung kerta wara nugraha dan tuntunan
Beliaulah sehingga paper tugas perbandingan agama dapat terselesaikan.
Selesainya paper ini sesungguhnya tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak, baik bantuan
berupa dukungan moral maupun material. Untuk itu, penulis tidak henti-hentinya mengucapan terima kasih kepada mereka yang telah
membantu dalam penyusunan paper ini.
Penulis menyadari
bahwa paper
ini memiliki banyak kekurangan atau belum bisa dikatakan sempurna, oleh itu penulis
mengharapkan banyak masukan dari pembaca berupa kritik dan saran yang bersifat membangun. Masukan yang diperoleh
merupakan acuan penulis demi
kesempurnaan paper
ini. Semoga melalui paper
ini bisa menghasilkan suatu yang dapat memberikan kontribusi manfaat bagi masyarakat luas khususnya dan
menjadi kepentingan pengembangan bidang ilmu agama
khususnya.
Om Santih, Santih, Santih, Om
Denpasar, Desember 2015
Penyusun,
PEMBAHASAN
1.1 Om Swastyastu
Umat Hindu di Indonesia, kalau saling berjumpa dengan
sesamanya, umumnya mengucapkan ''Om Swastyastu''. Selanjutnya perlu kita pahami
bersama makna apa yang berada di balik ucapan ''Om Swastyastu'' tersebut. Umat
Hindu di India umumnya mengucapkan ''Namaastu'' kalau bertemu dengan sesamanya.
Bahkan, ucapan itu dilakukan secara umum oleh masyarakat India. Para pandita
maupun pinandita dalam memanjatkan pujastawa sering kita dengar menutup
pujastawanya dengan ''Om naamo namah''. Inti semua ucapan itu pada kata naama,
yang dalam bahasa Sansekerta artinya menghormat.
Kalau
menyembah bhuta atau alam semesta tangan dicakupkan di pusar. Sembah seperti
itu berarti untuk mencurahkan kasih sayang kita pada alam untuk menjaga
kelestariannya. Menyembah sesama atau pitra, mencakupkan tangan di dada. Sembah
seperti itu adalah untuk menghormati sesama manusia. Menyembah dewa tangan
dicakupkan di selaning lelata yaitu di antara kening di atas mata. Hanya
menyembah Tuhanlah tangan dikatupkan dengan sikap anjali di atas ubun-ubun. Ini
artinya hanya menyembah Tuhanlah kita serahkan diri secara bulat dan satukan
diri sepenuh hati.
Salam
''Om Swastyastu'' yang ditampilkan dalam bahasa Sansekerta dipadukan dari tiga
kata yaitu: Om, swasti dan astu. Istilah Om ini merupakan istilah sakral
sebagai sebutan atau seruan pada Tuhan Yang Mahaesa. Om adalah seruan yang
tertua kepada Tuhan dalam Hindu. Setelah zaman Puranalah Tuhan Yang Mahaesa itu
diseru dengan ribuan nama. Kata Om sebagai seruan suci kepada Tuhan yang
memiliki tiga fungsi kemahakuasaan Tuhan. Tiga fungsi itu adalah, mencipta, memelihara
dan mengakhiri segala ciptaan-Nya di alam ini. Mengucapkan Om itu artinya
seruan untuk memanjatkan doa atau puja dan puji pada Tuhan.
Dalam
Bhagawad Gita kata Om ini dinyatakan sebagai simbol untuk memanjatkan doa pada
Tuhan. Karena itu mengucapkan Om dengan sepenuh hati berarti kita memanjatkan
doa pada Tuhan yang artinya ''ya Tuhan''.
Setelah
mengucapkan Om dilanjutkan dengan kata ''swasti''. Dalam bahasa Sansekerta kata
swasti artinya selamat atau bahagia, sejahtera. Dari kata inilah muncul istilah
swastika, simbol agama Hindu yang universal. Kata swastika itu bermakna sebagai
keadaan yang bahagia atau keselamatan yang langgeng sebagai tujuan beragama
Hindu. Lambang swastika itu sebagai visualisasi dari dinamika kehidupan alam
semesta yang memberikan kebahagiaan yang langgeng.
Menurut
ajaran Hindu alam semesta ini berproses dalam tiga tahap. Pertama, alam ini
dalam keadaan tercipta yang disebut Srsti. Kedua, dalam keadaan stabil menjadi
tempat dan sumber kehidupan yang membahagiakan. Keadaan alam yang dinamikanya
stabil memberikan kebahagiaan itulah yang disebut ''swastika''. Dalam istilah
swastika itu sudah tersirat suatu konsep bahwa dinamika alam yang stabil itulah
sebagai dinamika yang dapat memberikan kehidupan yang bahagia dan langgeng. Dinamika
alam yang stabil adalah dinamika yang sesuai dengan hak asasinya masing-masing.
Ketiga, adalah alam ini akan kembali pada Sang Pencipta. Keadaan itulah yang
disebut alam ini akan pralaya atau dalam istilah lain disebut kiamat.
Kata
''astu'' sebagai penutup ucapan Swastyastu itu berarti semoga. Dengan demikian
Om Swastyastu berarti: ''Ya Tuhan semoga kami selamat''. Tentu, tidak ada
manusia yang hidup di dunia ini tidak mendambakan keselamatan atau kerahayuan
di bumi ini.
Jadi,
salam ''Om Swastyastu'' itu, meskipun ia terkemas dalam bahasa Sansekerta
bahasa pengantar kitab suci Veda, makna yang terkandung di dalamnya sangatlah
universal. Pada hakikatnya semua salam yang muncul dari komunitas berbagai
agama memiliki arti dan makna yang universal. Yang berbeda adalah kemasan
bahasanya sebagai ciri khas budayanya. Dengan Om Swastyastu itu doa dipanjatkan
untuk keselamatan semua pihak tanpa kecuali. Salam ''Om
Swastyastu'' itu tidak memilih waktu. Ia dapat diucapkan pagi, siang, sore dan
malam. Semoga salam ''Om Swastyastu'' bertuah untuk meraih karunia Tuhan
memberikan umat manusia keselamatan.
Pengertian Swastiastu dalam beberapa kamus :
- Kamus
Bahasa Bali Kata “Swastyastu” berasal dari kata suasti, yang
berarti selamat, menjadi suastiastu yang berarti semoga selamat.
- Kamus
Kawi-Bali “Swastyastu berasal dari kata swasti yang berarti
raharja, rahayu, bagia, dan rahajeng. Astu yang berarti dumadak, patut,
sujati, sinah. Kata astu berkembang menjadi “Astungkara” yang
berarti puji, alem dan sembah. Sehingga “swastyastu” berarti semoga
selamat, semoga berbahagia
- Kamus
Jawa Kuna-Indonesia “Swasti” berarti kesejahteraan, nasib baik,
sukses; hidup, semoga terjadilah (istilah salam pembukaan khususnya pada
awal surat atau dalam penerimaan dengan baik). Sedangkan “astu”
memiliki 2 arti yaitu: 1. Semoga terjadi, terjadilah…. (seringkali pada
awal sesuatu kutuk, makian, berkah, ramalan), pasti akan….. 2.
Nyata-nyata, sungguh-sungguh (campuran dengan “wastu”?). Kata
"astu" berkembang menjadi “astungkara” yang berarti berkata
“astu”, mengakui, mengiyakan dengan segan, perkataan “astu”. Dari
pengertian tersebut kata “swastyastu” berarti semoga terjadilah nasib
baik, sungguh sejahtera.
- Kamus
Sanskerta-Indonesia “Svasti” berarti hujan batu es, salam, selamat
berpisah, selamat tinggal. Berkembang menjadi “svastika”, “svastimukha”,
“svastivacya”. Kata svastika berarti tanda sasaran gaib,
tidak mendapat halangan, pertemuan empat jalan, lambang agama Hindu. Svastimukha
berarti yang belakang, terakhir, penyanyi, penyair. Svastivacya
berarti salam ucapan selamat. Kata “astu” berarti sungguh, memuji.
Dari pengertian kedua kata tersebut dapat disimpukan “svastiastu” berarti
menyatakan selamat berpisah.
Dari beberapa pengertian kata dalam kamus-kamus tersebut, dapat ditarik
sebuah benang merah yang saling terkait satu sama lainnya yaitu:
- pengertian
“Swastyastu” dalam kamus Bahasa Bali, Kawi Bali dan Jawa Kuna
memiliki pengertian yang hampir sama, yaitu berarti semoga selamat,
semoga bahagia, semoga sejahtera. Sedangkan dalam kamus Sanskerta
berarti pernyataan selamat berpisah, selamat tinggal
- kata
“astu” sebagai penutup hanya mempertegas kata “svasti” yang
memang memiliki arti semoga, selamat berpisah, selamat jalan.
Pada dasarnya pengertian “swastyastu” pada keempat kamus itu
adalah sama, saling melengkapi satu sama lainnya, yaitu Ya Tuhan semoga kami
selamat, selamat tinggal dan semoga sejahtera (Semoga sejahtera dalam
lindungan Hyang Widhi), tidak ada manusia yang hidup di dunia ini tidak
mendambakan keselamatan atau kerahayuan di bumi ini. Selamat tinggal disini
maksudnya adalah selamat tinggal pada hal-hal sebelumnya yang telah dialami
atau dilalui dan semoga selamat dan sejahtera pada apa yang akan dialami atau
dilalui pada kehidupan sekarang. Dalam hidup tidak bisa dipisahkan dari tiga
waktu yaitu: atita, nagata, dan wartamana (dahulu, sekarang, dan yang akan
datang).
Dalam penggunaannya pada kehidupan
sehari-hari kata “swastyastu” diawali dengan kata “Om” sebagai ucapan
aksara suci Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sehingga menjadi “Om Swastyastu”.
Kata ini biasa atau lumrah digunakan sebagai salam pembuka (selain
swastiprapta, yang berarti selamat datang) kemudian diakhiri dengan “Om
Santih, Santih, Santih Om” yang berarti semoga damai di hati, damai di dunia,
dan damai di akhirat (selain swastimukha yang berarti salam penutup yang
belakang).
Di beberapa kota besar, kini kata “swastiastu” juga sering
digunakan sebagai salam penutup atau akhir dari sebuah percakapan. Jika dilihat dari pengertian arti katanya
dalam kamus memang wajar kata itu dipergunakan sebagai salam penutup sesuai
dengan artinya, namun jika melihat nilai rasa maka akan terasa janggal atau
kurang pas.
Dalam agama Hindu, sebuah awal adalah akhir
dari semua yang terjadi, sedangkan akhir adalah sebuah awal sesuatu yang baru.
Hal ini yang mungkin dijadikan patokan penggunaan kata “swastiastu” sebagai
salam pembukaan dan salam penutup perjumpaan atau percakapan (selain mungkin
penunjukan eksistensi terhadap agama lain bahwa agama Hindu juga memiliki salam
awal dan akhir seperti halnya agama lain). Namun, jika melihat lagi pada nilai
rasa, rasanya kedengaran janggal. Pada kesempatan ini saya juga mencoba
menyampaikan beberapa padanan kata, yang mudah-mudahan tidak jauh berbeda
artinya dengan “swastyastu” sebagai salam penutup perjumpaan atau percakapan.
Beberapa kata tersebut antara lain: “swastimukha”, yang berarti permulaan
(mukha) kesejahteraan, permulaan nasib baik, permulaan keselamatan;
“swastisanti”, yang berarti ucapan selamat berpisah dan damai (santi), selamat
jalan dan semoga damai.
Namun kini dikalangan remaja kata Om
Swastiastu dan Om Santih, Santih, Santih Om sering disingkat dengan kata OSA
maupun OSSSO hal ini banyak ditemui ketika menjelang hari raya agama Hindu
ucapan selamat Hari Raya sering diawali dan diakhiri dengan kata OSA dan OSSSO.
Hendaknya janganlh menyingkat Salam Panganjali puniki karena seperti uraian
diatas bahwa salam Om Swastiastu maupun Om Santih, Santih adalah merupakan
Salam sekaligus Doa.
1.2 Pengertian Swastika
Swastika
merupakan salah satu simbol yang paling disucikan dalam tradisi Hindu, merupakan contoh nyata tentang sebuah simbol
religius yang memiliki latar belakang sejarah dan budaya yang kompleks sehingga hampir mustahil untuk
dinyatakan sebagai kreasi atau milik sebuah bangsa atau kepercayaan tertentu.
Diyakini sebagai salah
satu simbol tertua di dunia, telah ada sekitar 4000 tahun lalu (berdasarkan
temuan pada makam di Aladja-hoyuk, Turki), berbagai variasi Swastika dapat ditemukan pada
tinggalan-tinggalan arkeologis ( koin, keramik, senjata, perhiasan atau pun
altar keagamaan) yang tersebar pada wilayah geografis yang amat luas.
Wilayah geografis
tersebut mencakup Turki, Yunani, Kreta, Siprus, Italia, Persia, Mesir, Babilonia, Mesopotamia, India, Tibet, Cina, Jepang, negara-negara Skandinavia dan Slavia, Jerman hingga Amerika.
Etimologi Swastika
Kata Swastika terdiri
dari kata Su yang berarti baik, kata Asti yang berarti adalah dan
akhiran Ka yang membentuk kata sifat menjadi kata benda. Sehingga
lambang Swastika merupakan bentuk simbol atau gambar dari terapan kata
Swastyastu (Semoga dalam keadaan baik).
Swastika
pernah (dan masih) mewakili hal-hal yang bersifat luhur dan sakral, terutama
bagi pemeluk Hindu, Jaina, Buddha, pemeluk kepercayaan Gallic-Roman (yang altar
utamanya berhiaskan petir, swastika dan roda), pemeluk kepercayaan Celtic kuna
(swastika melambangkan Dewi Api Brigit), pemeluk kepercayaan Slavia kuno
(swastika melambangkan Dewa Matahari Svarog) maupun bagi orang-orang Indian suku Hopi serta Navajo (yang menggunakan simbol itu dalam ritual
penyembuhan). Jubah Athena serta tubuh Apollo, dewa dan dewi Yunani, juga kerap dihiasi dengan simbol tersebut.
Bahkan,
swastika juga pernah menjadi simbol dari sebuah partai politik saat Hitler
menggunakannya sebagai perwakilan dari superioritas bangsa Arya. Jutaan orang
penghianat Yahudi Jerman tewas di tangan para prajurit yang mengenakan lambang
swastika (Swastika yang “sinistrovere”: miring ke kiri sekitar 45 derajat) di
lengannya.
Swastika juga banyak mengandung arti, bila searah
dengan arah jarum jam berarti mengandung hal - hal yang bersifat atau
mengandung kebaikan. sedangkan bila berlawanan dengan arah jarum jam maka
merupakan suatu bentuk kejelekan dan banyak digunakan oleh para penyihir -
penyihir dizaman dahulu. Swastika yang searah jarum jam juga berarti mengikuti
arus aturan dan kebiasaaan kehidupan yang berlaku di masyarakat pada umumnya
(searah jarum jam = searah perputaran waktu kehidupan di bumi), sedangkan bila
berlawanan dengan arah jarum jam maka merupakan suatu perbuatan yang berlawanan
dari segala arus aturan dan kebiasaan yang berkembang di masyarakat, hal ini
bisa berarti baik maupun buruk (berlawanan arah jarum jam = berlawanan arah dengan
perputaran waktu bumi / berlawanan dengan segala hal yang biasa dalam kehidupan
pada umumnya, melambangkan Batara Kala yang menakutkan). Contohnya : Jika
kita hidup di lingkungan yang buruk dan negatif maka merupakan suatu hal yang
baik jika kita tidak mengikutinya, sebaliknya jika kita hidup di dalam
lingkungan yang baik dan positif namun kita tidak mengindahkannya, berarti
perbuatan kita adalah negatif. Sang Buddha Gautama saat membina diri juga
menyadari bahwa pembinaan diri itu harus berlawanan dengan metode pembinaan
diri yang berkembang di masanya, yaitu metode pembinaan yang menyiksa diri,
sehingga Sang Buddha pun mengubah metode pertapaannya menjadi metode meditasi
yang sederhana (tanpa menyiksa diri), dan ternyata justru berhasil mencapai
tingkat pencerahan sempurna.
1.3 Pengertian Sang Hyang Widhi
Sang Hyang Widhi
(disebut juga sebagai Acintya
atau Sang Hyang Tunggal) adalah
sebutan bagi Tuhan yang
Maha Esa dalam agama Hindu Dharma masyarakat Bali. Dalam konsep Hinduisme, Sang Hyang Widhi dikaitkan dengan konsep Brahman. Dalam bahasa
Sanskerta, 'Acintya' memiliki arti 'Dia
yang tak terpikirkan, ”Dia yang tak dapat dipahami,”
atau “Dia yang tak dapat dibayangkan”.
Filosofi
"Hyang"
merupakan sebutan untuk keberadaan spiritual memiliki kekuatan supranatural, bagaikan matahari di dalam mimpi. Kedatangannya
dalam hidup seseorang memberikan kesenangan tanpa jeda dalam waktu lama yang
tak dapat dibedakan antara mimpi dan realita. Orang-orang Indonesia umumnya
mengenal kata ini sebagai penyebutan untuk penyebab keindahan, penyebab semua
ini ada (pencipta), penyebab dari semua yang dapat disaksikan, atau secara
sederhana disebut Tuhan.
Etimologi Sang Hyang Widhi
Sang Hyang Widhi,
berasal dari akar kata "Sang", "Hyang", dan "Widhi".
·
Sang, memiliki makna personalisasi
atau identifikasi. Contoh penggunaan kata lainnya: sang bayu, sang Nyoman, sang
Raja, dan lain-lain.
·
Hyang, terkait dengan keberadaan spiritual yang dimuliakan
atau mendapatkan penghormatan yang khusus. Biasanya, ini dikaitkan dengan wujud
personal yang bercahaya dan suci.
·
Widhi sama dengan widya artinya
pengetahuan, memiliki makna penghapus ketidaktahuan. Penghapus ketidaktahuan
memiliki wujud yang beragam menurut jalan ketidaktahuan diselesaikan.
Wujud-wujud ini menjadi media bagaimana manusia dan ciptaan di jagat raya ini
mengerti dan memahami diri dan lingkungannya. Widhi dapat berupa: cahaya,
suara, wujud tersentuh, sensasi tersensori, memori pikiran, rasa emosional,
radiasi bintang, pengartian tanda, rasa kecapan, dan lain-lain. Widhi ini
sangat terkait dengan dharma, atau lingkungan yang merupakan pustaka abadi
dimana manusia dapat membaca keseluruhan pengetahuan tentang widhi. Dharma
secara keseluruhan adalah widhi itu sendiri. Terkait dengan proses belajar,
dharma tampaknya terpartisi menjadi arus berlanjut yang hadir kepada manusia
tanpa henti hingga masa manusia itu berakhir.
Sang Hyang Widhi
Secara deskriptif,
makna Sang Hyang Widhi tidak cukup untuk diungkapkan dengan beberapa kalimat.
Namun, dengan adanya dharma, semua orang dapat memahami makna sang hyang widhi
ini secara utuh. Bahwa sang hyang widhi dipahami pertama melalui terlihatnya
matahari di dalam mimpi seseorang, yang memberikan kesenangan luar biasa atau
kesenangan tertinggi dari yang pernah dia rasakan. Kesenangan atau kebahagiaan
ini berlanjut beberapa hari tanpa jeda. Namun, seseorang tidak dapat melihat
matahari di dalam mimpi jika di dalam kenyataan ini dia tidak perhatian dengan
matahari dan perkembangan hari siang dan malam.
Sang Hyang Widhi
secara sederhana berarti dia yang memancarkan widhi atau penghapus
ketidaktahuan. Dengan batasan media yang berupa cahaya, maka sang hyang widhi
adalah sumber cahaya. Sumber cahaya ini berupa matahari atau sumber cahaya
lain. Dengan demikian, dengan membatasi bentuk widhi berupa cahaya, sang hyang
widhi adalah sumber cahaya.